Jumat, 15 April 2011

Petikan kisah, "Dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang.."

oleh Nita Nurfitria pada 13 April 2011 jam 22:20
 
Kurapatkan pintu dan memutar kunci yang sedikit macet beberapa kali.  Jendela dan pintu sebingkai rumah telah siaga terkunci. Hatiku lega. Lantai terasa semakin dingin dan aku berdiri sendiri. Wajahku mengintip dibalik tirai pada kaca jendela pintu  yang berembun selepas hujan bada isya yang baru mereda. Mataku mengalih pada jam dinding simbol hati diatas meja yang kuperoleh dari salah satu kado pernikahan  sebulan  lalu. Sudah jam sebelas malam namun rasa kantuk belum terasa membius mata.  Masih terasa hangat jemari suamiku yang kucium santun saat melepasnya bertugas usai shalat isya berjamaah tadi.

Aku telah mulai terbiasa dengan tugas dadakan seperti ini. Tak kenal hari libur ataupun waktu istirahat, kadang  ditengah canda kami tiba-tiba saja suamiku harus pergi. Kasusnya beragam, khusus malam ini regu suamiku didapati tugas oleh pimpinannya untuk beraksi. Geng motor yang meresahkan warga telah lama ini berulah kembali ditengah malam, salah satu warga daerah Cipanas telah naas jadi korban.  Saatnya melakukan razia kembali pada geng-geng motor bersenjata yang tidak kapok-kapoknya melukai warga.
 “Minta doanya yah istriku..” lirihnya sembari menghidupkan motor dan mengenakan jas hujan. Dibalik tirai kaca masih terbayang derum motornya yang menjauh meninggalkan pagar rumah. Kutatap jalanan mulai lengang kendaraan seiring beranjak malam. Syukurku karna hujanpun mereda dan mungkin suamiku telah sampai dikota tujuan dalam perjalanan kurang lebih satu setengah jam.

Ku titipkan belahan jiwaku padaMu ya Alloh..
Lindungi dia dan Bawalah dia pulang kembali kepadaku dengan selamat..
Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan tempat bersandar..

Kembali aku terduduk sendiri, pasrah menitipkan seseorang yang telah menjadi teman terdekatku pada Sang Pemilik kehidupan. Lagi-lagi hanya sebingkai foto pernikahan kami yang coba kuraih dan menatapnya lekat. Sebuah pernikahan lewat masa taaruf dua bulan. Lelaki asing berjas hitam itu, dialah kini imamku dan lewat ridhonya pula syurga kepangkuanku.

Kucoba melelapkan mata dengan murojaah hafalan. Pikirkupun langsung tertuju pada secarik kertas putih bertulis salah satu surah Al-Qur’an juz 30 yang kuselipkan pada saku seragamnya sebelum bergegas tugas seminggu lalu.
“sayang...kalau tugasnya santai bisa sambil ngapalin surah ini yah ditempat kerja...” Aku tersenyum manis merangkul pundaknya yang sedang berdiri depan cermin merapikan sabuk, segera kuselipkan lipatan kertas pada saku seragam polisi suamiku.  Seperti biasa dia selalu membalas dengan kecupan kecil dikening. Sudah seminggu sketsa itu dan aku masih belum mendengar lantunan surah yang kutulis dengan penuh cinta itu dalam shalat jamaah kami.

Bising derum motor Tiger membangunkan aku yang pulas tertidur dibalik selimut. Kuucap syukur dan tergesa membuka kunci pintu menyambut suami yang tengah pulang kembali pukul tiga dini hari. Kulemparkan pelukan erat pada tubuh suamiku saat memasuki pintu rumah tanpa peduli badannya yang lelah dan mengantuk. Hatiku terlalu gembira melihat kepulangannya.

Malam itu begitu sayu, wajahnya lusuh. Apa yang kau alami diluar sana suamiku. Begitu kejamkah dunia malam diluar sehingga membuat senyummu hilang. Aku tak bertanya apapun hanya menyiapkan segelas susu hangat yang tak disentuhnya sesendokpun, dia lebih memilih segera terbaring pasrah diatas kasur, rasa kantuk dan lelah terasa berat dipundaknya.
Ku biarkan dia terlelap dan aku bersimpuh dalam sujud qiyamullail seorang diri. Diatas sajadah aku terduduk membuka mushaf melantunkan ayat-ayat suciNya disepertiga malam. Suamiku tiba-tiba beranjak dari tempat tidur dan menatapku. Aku tersenyum melihatnya menghampiriku namun tetap dengan wajah sayu dan mata kantuknya. Tubuhnya terbaring disampingku dan ku biarkan kedua  pahaku menjadi tempat kepalanya bersandar. Tangannya memelukku dengan mata kembali terpejam. Aku tersenyum membelai rambutnya dan melanjutkan  tilawah.  Suamiku terlelap, resah diwajahnya perlahan memudar.

“Tidurlah sayang,  esok ceritakan kisahmu dan aku kan berusaha  menjadi lilin penerang untukmu..”

Adzan Subuh terdengar syahdu menggetarkan panorama alam. Kubangunkan lewat kecupan kecil pada rambut suamiku yang masih terlelap dipangkuan untuk  mengajaknya shalat berjamaah.  Air  wudlu menyegarkan raga kami. Ditengah kekhusyuan shalat itu sayup-sayup hatiku bergetar mendengar bacaan imamku, bacaan setelah Al-Fatihah itu adalah surah yang kuselipkan disaku seragam polisinya seminggu lalu. Untuk pertama kalinya dishalat Subuh itu kudengar  terlantun dari bibir suamiku. Kami semakin tenggelam dalam nikmat cinta Alloh dan bersujud bersama diatas bumiNya.

“Sekelam apapun goresan dan ujian hidup, hanya dengan mengingat Allohlah hati menjadi tenang..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar