Salah satu hak utama anak yang harus dipenuhi orang tua dan pendidik adalah mendapatkan pemahaman, simpati, dan nasihat di saat ia melakukan suatu kesalahan. Berikut ini akan dipaparkan suatu kisah yang menekakan hak anak tersebut.
Salah seorang pakar pendidikan memilih tiga ibu yang sedang mengikut pelatihan menjadi orang tua terbaik untuk diwawancarai perihal kondisi keluarganya. Anggaplah nama ibu tersebut secara berurutan adalah Hanan, Su’ad, dan Laily. Sang pakar lalu mengajukan beberapa pertanyaan kepada ketiganya.
Sang pakar bertanya, “Bila di suatu pagi, di saat Anda sedang menyiapkan makanan pagi untuk suami Anda, tiba-tiba pada saat yang bersamaan, telepon rumah berdering, anak Anda menangis keras, dan roti yang sedang Anda panggang hangus hingga membuat suami Anda berkata, ‘Kapan Mama bisa belajar memanggang roti tanpa hangus?’ Dalam kondisi seperti ini, apa yang Anda lakukan?”
Hanan menjawab, “Aku akan melemparkan roti yang telah kusiapkan untuk suamiku ke wajahnya.”
Su’ad menjawab, “Aku akan berkata pada suamiku, ‘Oh, ya, sudah bangun?! Panggang aja rotimu sendiri!’”
Laily menjawab, “Kata-kata suamiku akan melukai hatiku dan tentunya aku menangis karenanya.”
Sang pakar lalu bertanya, “Lalu bagaimana perasaan Anda kepada suami Anda?”
Ketiganya menjawab, “Marah, benci, dan merasa dizhalimi.”
Sang pakar melanjutkan wawancaranya, “Apakah mudah bagi Anda untuk kemudian memanggangkan roti lain untuk suami Anda?”
Ketiganya dengan serempak menjawab, “Tidak! Tentu saja tidak mudah!”
Sang pakar kembali bertanya, “Bila kemudian suami Anda pergi ke kantor, apakah mudah bagi Anda untuk merapikan rumah dan membeli barang-barang keperluan suami Anda dengan kondisi yang ada tersebut?”
Hanan menjawab, “Tidak! Aku akan merasa tertekan seharian.”
Su’ad menjawab, “Tentu saja tidak! Aku tidak akan membelikan apa pun bagi keperluan rumah tangga pada hari itu.”
Laily menjawab, “Aku akan merasa tertekan pada hari itu, namun aku akan tetap melaksanakan kewajibanku.”
Sang pakar lalu bertanya, “ Anggaplah roti yang Anda panggang memang hangus, namun suami Anda menanggapinya dengan ucapan, ‘Tampaknya pagimu sangat melelahkan. Telepon berdering, anak menangis, dan kini roti pun hangus.’ Kira-kira apa respons Anda pada suami Anda?”
Hanan menjawab,”Aku tidak akan percaya bahwa suamiku akan berkata seperti itu.”
Su’ad menjawab, “Aku akan merasa bahagia dan merasa tenang dengan komentarnya.”
Laily menjawab, “Aku akan merasa bahagia dan aku akan terus berusaha mempersembahkan yang terbaik untuknya.”
Sang pakar lalu kembali bertanya, “Mengapa bisa begitu, padahal anak Anda masih terus menangis, telepon masih terus berdering, dan roti yang Anda buat pun sudah hangus?”
Ketiganya menjawab, “Kami tidak peduli pada semua itu!”
Sang pakar bertanya, “Apa yang berbeda kali ini?”
Hanan menjawab, “Aku akan merasa tenang atas komentar suamiku tersebut. Ia tidak mengkritikku dan ia memahami perasaanku. Ia mendukungku dan tidak berada di sisi yang berlawanan denganku.
Ibu yang lainnya pun setuju pada ucapannya.
Sang pakar lalu melanjutkan pertanyaannya, “Lalu bila suami Anda pergi bekerja, apakah setelahnya menjadi mudah bagi Anda untuk melakukan pekerjaan rumah tangga?”
Su’ad mewakili ibu lainnya menjawab, “Kami akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan penuh kerelaan dan kebahagiaan.”
Sang pakar lalu berkata, “Sekarang, aku akan mengungkapkan tipe suami ketiga. Di saat roti yang Anda buat hangus, suami Anda berkata, “Sini! Aku perlihatkan kepadamu bagaimana cara memanggang roti yang benar.”
Ketiga ibu itu pun lalu berteriak seraya berkata “Tidak! Ini adalah tipe suami terburuk dari tipe sebelumnya. Dengan perbuatannya itu, ia telah membuat kami seolah-olah orang bodoh.”
Sang pakar lalu berkata, “Sekarang, kita akan selaraskan apa yang terjadi dengan interaksi yang kalian lakukan kepada anak-anak kalian!”
Hanan lalu berkata, “Kini, aku mengerti maksud wawancara ini. Aku selalu mengkritik anakku tanpa menyadarinya dengan mengatakan, ‘Kau sudah besar! Kau harusnya sudah mengerti bahwa apa yang kau lakukan adalah salah!’ Kini, aku mengerti mengapa anakku sering marah mendengar ucapan tersebut!’
Su’ad lalu berkata, “Aku pun selalu mengatakan kepada anakku, ‘Sini! Mama akan memperlihatkan kepadamu bagaimana melakukan ini dan itu.’ Mendengar perkataanku tersebut, anakku tampak marah besar.”
Laily berkata, “Aku selalu mengkritik anakku hingga hal tersebut menjadi hal yang bisaa bagiku. Aku selalu mengulang ucapan yang ditujukan padaku untuk mengkritikku di saat aku masih kecil. Pada hal secara pribadi, aku tidak suka mendengar ibuku mengatakan hal tersebut padaku.”
Sang pakar mengomentari ucapan Laily, “Dan kini, kau mengucapkan dan melakukan hal yang sama kepada anakmu?”
Laily menjawab, “Tepat! Itulah yang aku lakukan. Aku tidak menyukai diriku sendiri ketika harus mengucapkannya.”
Sang pakar berkata, “Apakah kini Anda sedang mencari cara terbaik dalam berinteraksi dengan anak Anda?”
Laily lalu menjawab dengan refleksnya, “Tentu! Aku berharap aku bisa mempelajari cara baru danlebih baik dalam berinteraksi dengan anakku!
Sang pakar lalu berkata, “Kini, mari kita mencari lebih jauh, apa yang mungkin bisa kita pelajari dari kisah roti yang hangus sebelumnya! Apa yang bisa membantu Anda mengubah perasaan Anda sehingga Anda tetap bisa mencintai dan rela terhadap sikap suami Anda?”
Hanan menjawab, “Aku meyakini, mungkin hal itu karena suamiku tidak mengkritik kesalahanku dan ia memahami perasaanku.”
Su’ad melengkapi ucapan Hanan dengan mengatakan, “Tanpa harus menyakiti perasaan.”
Laily melanjutkan ucapan Su’ad, “Dan tanpa harus menunjukkan bagaimana kau harus bersikap!”
Lihatlah! Dari wawancara tersebut, sang pakar telah berhasil merealisasikan tujuan dari wawancarannya.
Apakah kini Anda bisa memahami bahwa yang diinginkan para istri dari para suami sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diinginkan anak-anak dari ibunya, yakni pamahaman dan rasa simpati. Dengan demikian, mereka bisa memahami kesalahannya dan belajar darinya sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar