
Sudah gilakah Muhammad, tuduh
sebagian orang Makkah ketika Rasulullah saw menikahi Saudah binti Zam’ah.
Pernikahan itu membuat gempar masyarakat Makkah. Bayangkan, meski seorang
janda, Saudah bukanlah janda kembang yang menarik. Sebagai janda tua, sama
sekali ia tidak menyisakan kecantikan di masa mudanya. Punya anak lagi.
“Apakah wanita semacam itu
pantas untuk menggantikan posisi Khadijah? Padahal, banyak wanita lain yang
lebih layak menggantikan Khadijah, baik dari segi kecantikannya, martabatnya,
kekayaannya, maupaun usianya,” kata mereka.
Pendapat itu betul. Memang
kehadiran Saudah bukan untuk menggantikan posisi Khadijah. “Aku mengawinin
Saudah kerena dia adalah janda pahlawan yang perlu di santunin,” alasan Nabi.
Memang tidak ada satu sumberpun
yang menyebutkan bahwa Saudah adalah cantik molek, berharta banyak, atau
memiliki kedudukan yang memberi pengaruh dorongan hasrat duniawi dalam
perkawinannya dengan Nabi. Nabi mengawini Saudah dengan maksud agar
pejuang-pejuang muslim lainnya mengetahui bahwa jika mereka gugur untuk agama
Allah, istri-istri dan anak-anaknya tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam
kemiskinan. Banyak Muslim lainnya yang siap akan merawatnya.
Rasulullah memberikan contoh
konkrit, bahkan ssampai rela mengawini janda syuhada’ itu. Sebagai pemimpin,
beliau harus memberi contoh lebih dulu. Bagi Saudah perkawinan dengan
Rasulullah itu adalah satu kehormatan yang tiada tara. Selain itu, dengan
perkawinan akan meringankan beban hidupnya sebagai janda yang menanggung
anaknya.
Sebagai wanita, ia selalu
rendah hati. Sama sekali tak terkecoh dengan kedudukan tinggi suaminya,
Rasulullah. Ia menyadari bahwa sebagai istri, dirinya sudah tua. Tak menarik
lagi hati suami. Badannya gemuk, hingga tampak berat jika berjalan. Walau
begitu, dia berjiwa periang. Bahkan sering ucapannya menimbulkan gelak tawa
orang yang mendengarnya. Tanpa ragu-ragu, Saudah meyakini bahwa apa yang
diterima dari Rasulullah suaminya adalah belas kasihan, bukan kemesraan
sebagaimana yang diperoleh istri kepada suaminya itu. “Aku telah puas,
Rasulullah mengangkat diriku sebagai istri dengan kedudukan semulia ini,” kata
Saudah jujur.
Karena itu, ia menerima apa
adanya tentang dirinya sebagai istri Rasulullah. Bahkan giliran untuk dirinya
sebagai istri, dengan ikhlas diserahkan untuk ‘Aisyah madunya. Ia sudah merasa
puas bisa tinggal di tengah keluarga Nabi, mengurus rumah tangganya, melayani
serta membantu putra-putrinya. Ummi mu’miniin ini berusia panjang, dan baru
wafat di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Hijrah Pertama
Sakran bin Abdus Syams bin Abdi
Wudd al Quraisy al Amiry, adalah masih sepupu Saudah sendiri. Seorang lelaki
yang cukup gigih mempertahankan keislamannya dari penindasan dan pengejaran
Quraisy. Sebagai Islam pemula, pasangan itu merasakan betapa pahit-getirnya
perjuangan menjadi Islam yang penuh siksaan dan penderitaan. Karena tak kuat
lagi menderita cacian dan siksaan, keduanya hijrah ke negeri Habsyah atau
Abisinia atas saran Nabi.
Peristiwa hijrah pertama itu
terjadi tahun 615 M. waktu itu ada delapan orang Bani Amir yang hijrah
meninggalkan kampung halaman berjalan kaki menelusuri gurun sahara yang panas
terik serta mengarungi lautan menuju Habsyah. Di antara mereka itu ada Malik
bin Zam’ah bin Qais bin Abdusy Syams yang masih saudara sepupu Saudah. Juga
Sakran bin Qais bin Abdusy Syams al Amiry, saudara sepupu dan suami saudah.
Lalu Salith dan Hathib dua anak lelaki Amir bin Andus Syams, serta Abdullah bi
Suhail bin Amr saudara seppupu Sakran. Tiga dari delapan Muhajirin itu, diikuti
istrinya masing-masing, yakni Saudah binti Zam’ah, Ummu Kaltsum binti Suhail,
dan Umrah binti al Wuqdan. Semuanya adalah cucu-cucu Abdusy Syams.
Mereka pergi ke Abisinia yang
selama ini belum pernah dikenalnya. Hidup di negeri orang yang bukan serumpun
dan berseketurunan, lain bangsa, lain budaya, dan lain pula bahasanya. Itulah
tantangan berat yang dihadapi Saudah beserta suaminya di perantauan.
Bahkan, nasib malang masih
menimpanya dengan cobaan lebih berat. Dalam perjalanan kembali ke kampung
halaman di Makkah, sakran meninggal dunia dan dimakamkan di Makkah. Bisa
dibayangkan betapa berat penderitaan Saudah sepeninggal suaminya, hidup tak ada
lagi tempat berpijak dan bergantung. Akan tetapi, wanita itu begitu mulia,
semulia suaminya yang wafat sebagai syuhada’.
Betapa merananya Saudah yang
terpaksa mengasuh seorang anaknya, sementara Zam’ah ayahnya sudah tua renta.
Wanita semacam inilah yang dinikahi Nabi hanya semata-mata karena pertimbangan
untuk menyantuni para janda pahlawan. Saudah adalah wanita yang setia. Janda
pahlawan yang begitu tabah mengalami segala penderitaan dan cobaan. Jika karena
itu, Muhammad kemudian mengawininya untuk memberi perlindungan dan memberikan
tempat setaraf ummul mu’minin, sungguh beliau pantas mendapatkan pujian dan
penghargaan atas pengorbanannya.
http://alfiyandi.wordpress.com/2011/02/16/janda-tua-yang-gemuk-istri-rasulullah-itu-ialah-saudah-binti-zam%E2%80%99ah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar