`Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu
`Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka
semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin
`Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr.
Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai
Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan
bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi
fatwa pada waktu itu.
Beliau
senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika
shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan,
beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis
Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan
mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu,
Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Pernah
satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di
atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia
seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah
kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”
Ibnu
`Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera
menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu.
Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di
sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat,
beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi
engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu
mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri
bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu
berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah
perkembangan ilmu daripadanya.’”
Usia
Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu,
pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui
sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang
telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita
bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang
sahabat penghafal hadits:
“Aku
pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu
rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun
dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk
masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya
supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati
diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa
dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan
datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau,
karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya
mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan
kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat,
Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman
pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua
(matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan
permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat
Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang
cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian
membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau
menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk
pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci,
bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik
yang dikenal maupun tidak.
`Umar
juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas.
Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin
`Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang
yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana
daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang
tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya
berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanannya,
minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin
`Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih
mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar,
`Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan
Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri,
kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki
budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah
dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq
berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau
akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata
dengannya, niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling
fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan
mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”
Saat
ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan
lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai
‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang
setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari
dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa,
syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang
istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam
dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana
lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas
pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali.
Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara
dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati
pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya
(memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang
termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi
buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
`Abdullah
bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling
banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad
di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia
juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan
Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Pada
akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if
hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki
kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.
http://www.lingkaran.org/biografi-ibnu-abbas.html
Kecemerlangan Ilmu Ibnu Abbas r.a
Suatu
ketika Kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah r.a,
"Salam
sejahtera kami sampaikan kepada Anda. Kami mohon kiranya Anda memberitahukan
kepada kami apa ucapan yang paling disenang oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga,
keempat, dan kelima?
Siapa
hamba yang paling mulia dan wanita yang paling mulia bagi-Nya?
Apa
empat perkara yang di dalamnya terdapat roh, tetapi tidak bersemayam dalam
rahim?
Kubur
manakah yang berjalan sambil membawa penghuni kuburnya?"
Muawiyah
r.a. dibuat pusing tujuh keliling dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. la
tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan, karena jengkelnya
kemudian ia berkata, "Ya Allah, laknatlah dia! Aku tidak tahu apa
jawabannya!"
Meskipun
demikian, Muawiyah juga tetap berpikir dan mencari jalan keluarnya. Barangkali
ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Kaisar Romawi itu.
Tidak lama kemudian ia teringat dengan
Ibnu Abbas r.a. yang terkenal akan kepandaiannya. la berharap Ibnu Abbas dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar. Oleh karena itu, ia
segera mengutus seseorang untuk memanggilnya.
Ketika
Ibnu Abbas r.a. telah berhadapan dengan Muawiyah r.a., ia diserahi surat dari
Kaisar Romawi untuk dimintai pendapatnya. Ibnu Abbas pun segera membaca dan
memahami isi surat dari Kaisar Romawi tersebut. la tersenyum memandang surat
itu, lalu dengan mudah Ibnu Abbas r.a. menjawab setiap pertanyaan yang diajukan
oleh Kaisar.
"Apa
ucapan yang paling disenangi oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga, keempat, dan
kelima? Ucapan yang paling disukai Allah SWT adalah La ilaha illallah (tidak
ada Tuhan selain Allah). Tidak akan diterima suatu amal perbuatan tanpa
landasan kalimat itu. Itulah ucapan yang menyelamatkan. Kedua adalah
Subhanallah (Mahasuci Allah), ucapan ini adalah cara shalat seluruh makhluk
Allah. Ketiga adalah Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), ucapan syukur.
Keempat adalah Allahu Akbar (Allah Maha besar), yaitu ucapan pembuka semua
shalat, sujud, dan ruku'. Kelima adalah La haula wala quwwata illa billah
(Tidak ada kekuatan selain dari Allah)."
Ibnu
Abbas r.a. menjawab pertanyaan berikutnya, "Siapa hamba yang paling mulia
dan wanita yang paling mulia bagi-Nya? Hamba yang paling mulia adalah Adam a.s.
yang diciptakan dengan tangan-Nya dan Dia mengajarinya nama-nama semua yang
ada. Adapun wanita yang paling mulia adalah Maryam, wanita suci."
Kemudian
pertanyaan berikutnya, "Apa empat perkara yang di dalamnya terdapat roh,
tetapi tidak bersemayam dalam rahim? Empat hal yang tidak berasal dari rahim
adalah Adam a.s, Hawa r.a, Tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular, dan
domba kurban Nabi Ibrahim a.s."
Berikutnya,
"Kubur manakah yang berjalan sambit membawa penghuni kuburnya? Kubur itu
adalah perut paus yang di dalamnya terdapat Nabi Yunus a.s."
http://ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2010/02/kecemerlangan-ilmu-ibnu-abbas-ra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar