Kamis, 13 Oktober 2011

Ibnu `Abbas


 `Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.

Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai  Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.

Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.

Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”

Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat, beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.’”
Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:

“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”

Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.

`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”

Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”

Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.

Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”

`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.

Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.

http://www.lingkaran.org/biografi-ibnu-abbas.html

Kecemerlangan Ilmu Ibnu Abbas r.a

Suatu ketika Kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah r.a,
"Salam sejahtera kami sampaikan kepada Anda. Kami mohon kiranya Anda memberitahukan kepada kami apa ucapan yang paling disenang oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima?

Siapa hamba yang paling mulia dan wanita yang paling mulia bagi-Nya?

Apa empat perkara yang di dalamnya terdapat roh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim?

Kubur manakah yang berjalan sambil membawa penghuni kuburnya?"

Muawiyah r.a. dibuat pusing tujuh keliling dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. la tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan, karena jengkelnya kemudian ia berkata, "Ya Allah, laknatlah dia! Aku tidak tahu apa jawabannya!"

Meskipun demikian, Muawiyah juga tetap berpikir dan mencari jalan keluarnya. Barangkali ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Kaisar Romawi itu.

Tidak lama kemudian ia teringat dengan Ibnu Abbas r.a. yang terkenal akan kepandaiannya. la berharap Ibnu Abbas dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar. Oleh karena itu, ia segera mengutus seseorang untuk memanggilnya.
Ketika Ibnu Abbas r.a. telah berhadapan dengan Muawiyah r.a., ia diserahi surat dari Kaisar Romawi untuk dimintai pendapatnya. Ibnu Abbas pun segera membaca dan memahami isi surat dari Kaisar Romawi tersebut. la tersenyum memandang surat itu, lalu dengan mudah Ibnu Abbas r.a. menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Kaisar.

"Apa ucapan yang paling disenangi oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima? Ucapan yang paling disukai Allah SWT adalah La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Tidak akan diterima suatu amal perbuatan tanpa landasan kalimat itu. Itulah ucapan yang menyelamatkan. Kedua adalah Subhanallah (Mahasuci Allah), ucapan ini adalah cara shalat seluruh makhluk Allah. Ketiga adalah Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), ucapan syukur. Keempat adalah Allahu Akbar (Allah Maha besar), yaitu ucapan pembuka semua shalat, sujud, dan ruku'. Kelima adalah La haula wala quwwata illa billah (Tidak ada kekuatan selain dari Allah)."

Ibnu Abbas r.a. menjawab pertanyaan berikutnya, "Siapa hamba yang paling mulia dan wanita yang paling mulia bagi-Nya? Hamba yang paling mulia adalah Adam a.s. yang diciptakan dengan tangan-Nya dan Dia mengajarinya nama-nama semua yang ada. Adapun wanita yang paling mulia adalah Maryam, wanita suci."

Kemudian pertanyaan berikutnya, "Apa empat perkara yang di dalamnya terdapat roh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim? Empat hal yang tidak berasal dari rahim adalah Adam a.s, Hawa r.a, Tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular, dan domba kurban Nabi Ibrahim a.s."

Berikutnya, "Kubur manakah yang berjalan sambit membawa penghuni kuburnya? Kubur itu adalah perut paus yang di dalamnya terdapat Nabi Yunus a.s."

http://ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2010/02/kecemerlangan-ilmu-ibnu-abbas-ra.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar