Oleh: Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Kunyah-nya
Abu ‘Abdillah. Ia bernama lengkap ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwam bin
Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai dari suku Quraisy. Menilik
namanya, orang akan tahu bahwa ia adalah anak dari shahabat Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam, Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallâhu ‘anhu yang
memperistri Asma binti Abu Bakr radhiyallahu anhuma.
‘Urwah
dilahirkan di Madinah pada tahun 23H, pada akhir masa kekhalifahan ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Cucu
khalifah pertama ini tergolong orang ‘alim yang pandai merangkai
kata-kata untuk menyentuh dan melunakkan hati lawan bicaranya. Ini diakui
Az-Zuhri, yang juga seorang tabi’in. “Cara bertutur ‘Urwah melembutkan hati
manusia,” katanya.
‘Urwah
adalah salah seorang yang di zamannya popular dengan perhatiannya yang tinggi
terhadap ilmu, lagi sabar, ahli fiqih, berhati-hati dalam berfatwa, tekun dalam
beribadah, zuhud terhadap kehidupan dunia, serta sifat-sifat mulia lainnya.
Sehingga ia masuk ke dalam jajaran empat besar tokoh tabi’in dari Madinah.
Tentang
semangatnya mencari ilmu diceritakan oleh Az-Zuhri. Ia menuturkan dari Qabishah
bin Dzuaib. Katanya: “‘Urwah mengajariku cara masuk ke tempat ‘Aisyah dan
‘Aisyah adalah manusia yang paling ‘alim. Banyak pembesar shahabat menanyakan
ilmu kepadanya.”
Anaknya,
Hisyam bin ‘Urwah, menuturkan dari ayahnya, “Ia berkata kepada kami waktu
kami masih muda: ‘Mengapa kalian tidak belajar? Jika kamu masih kecil di
suatu kaum, sebentar lagi kamu menjadi orang tua di sana. Sebagai orang tua,
tidak baik bila jadi orang bodoh. Aku melihat diriku empat atau lima tahun
sebelum kematian ‘Aisyah. Ketika itu aku berkata: ‘Kalau ia mati pada hari ini,
maka aku telah menghapal semua hadits yang ia hapal. Sebuah hadits dari seorang
lelaki shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa salam telah sampai kepadaku. Lalu
seandainya aku temukan dia sedang berkata di depan pintu rumahnya, aku akan
menanyakan tentang hadits yang sampai kepadaku itu.’”
Dari
Az-Zuhri, katanya, “Urwah adalah lautan ilmu yang tak habis ditimba.”
Sufyan bin ‘Uyainah, katanya, “Orang yang paling tahu hadits dari ‘Aisyah
ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti
‘Abdirrahman.” Kefaqihannya juga diungkapkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih ‘alim daripada ‘Urwah bin
Az-Zubair…”
‘Abdurrahman
bin Abu Az-Zinad dari ayahnya, katanya: “Termasuk fuqaha Madinah yang
dijadikan panutan manusia adalah Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair,
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Abu Bakr bin ‘Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin
Mas’ud, dan Sulaiman bin Yasar.”
Kezuhudannya
pernah ia ungkapkan sendiri di hadapan anaknya. Dari ‘Utsman bin ‘Urwah,
katanya: “‘Urwah pernah berkata: ‘Hai anakku, ke sinilah. Belajarlah,
sesungguhnya pemilik dunia adalah manusia yang paling zuhud terhadap dunia dan
betapa kasihan seseorang yang ditanya tentang agama kemudian ia tidak tahu.’”
Begitu
besar sifat kehati-hatiannya dalam berfatwa sampai ia membakar semua bukunya.
‘Abdurrahman bin Abu Az-Zinad berkata menirukan perkataan ‘Urwah, “Kami
tidak menjadikan satu kitab pun menandingi Al-Qur’an, sehingga aku menghapus
seluruh kitabku….”
Ketekunan
ibadahnya diakui oleh anaknya sendiri, Hisyam. Kesabarannya teruji ketika kaki
kirinya terserang penyakit kemudian dipotong dan ia tidak mau meminum obat bius
yang disarankan tabib khalifah. Ia bahkan berkata, “Lakukan pada dirimu.
Sulit dibayangkan seorang manusia minum obat bius kemudian hilang akalnya
hingga tak mengenal Rabb-nya.” Kemudian ia berdoa: “Ya Allah, aku punya
empat orang anak, lalu Engkau ambil satu dan Engkau sisakan tiga. Aku punya
empat ujung (dua kaki dan dua tangan), lalu Engkau ambil satu dan Engkau
sisakan tiga. Dan jika Engkau ambil, sungguh Engkau telah menyisakannya. Jika
Engkau menguji, sungguh Engkau juga menyelamatkannya.”
Tak
hanya itu, segala celaan yang ditujukan kepadanya, dihadapi ‘Urwah dengan
sabar, sambil berkata, “Terkadang ucapan hina yang aku tanggung sebentar
menghasilkan kemuliaan yang panjang.”
Yahya
bin Ma’in menyebutkan tabi’in dan ahli hadits Madinah: Abu Bakr bin
‘Abdurrahman, ‘Urwah bin Az-Zubair, Sa’id, ‘Ali bin Al-Husain, mereka wafat
pada tahun 94H. Dan tahun kematian mereka disebut dengan tahun fuqaha. Namun
Al-Bukhari menyebutkan bahwa ia wafat tahun 99 atau 100 atau 101H.
Sumber Bacaan:
- Shifatus Shafwah, Ibnul Jauzi
- Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar
- Tahdzibut Kamal fi Asma Ar-Rijal, Al-Mizzi
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No.
05/Februari 2004/Dzulqa’dah 1424H, kategori: Biografi, hal. 56, untuk
http://almuslimah.co.nr)
http://almuslimah.wordpress.com/2008/06/12/urwah-bin-az-zubair-tabiin-yang-penyabar/
‘Urwah Bin Az-Zubair
(Kakinya
Dibuntung Dengan Gergaji, Karena Menolak Khamar Dan Bius)
“Barangsiapa ingin melihat seseorang dari ahli
Surga, hendaklah ia melihat ‘Urwah bin az-Zubair” (Abdul Malik bin Marwan)
Baru
saja matahari sore itu memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan
jiwa-jiwa yang bening untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa
para sahabat Rasulullah SAW dan para pembesar tabi’in mulai berthawaf di
sekeliling Ka’bah, mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan
memenuhi hamparan dengan do’a-do’a kebaikan.
Dan
tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Ka’bah nan agung,
yang berdiri kokoh di tengah Baitul Haram dalam kondisi yang berwibawa dan
agung. Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan
memoderator pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa keisengan dan
perkataan dosa.
Di
dekat Rukun Yamani, duduklah empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat
nasabnya serta berbaju harum seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati
masjid, berbaju mengkilat dan membuat hati jinak karenanya.
Mereka
itu adalah ‘Abdullah bin az-Zubair, saudaranya; Mus’ab bin az-Zubair, saudara
mereka berdua; Urwah bin az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi
perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama
kemudian salah seorang di antara mereka berkata,
“Hendaklah
masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan.”
Maka
khayalan mereka terbang ke alam ghaib nan luas, angan-angan mereka
berputar-putar di taman-taman harapan nan hijau, kemudian Abdullah bin
az-Zubair berkata,
“Cita-citaku,
aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah.”
Saudaranya,
Mus’ab berkata,
“Kalau
aku, aku ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang
yang menyaingiku.”
Sedangkan
Abdul Malik bin Marwan berkata,
“Jika
anda berdua hanya puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali
menguasai dunia semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah
bin Abi Sufyan.”
Sementara
‘Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka
saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata,
“Apa
yang kamu cita-citakan wahai Urwah?”
Dia
menjawab, “Mudah-mudahan Allah memberkati kalian semua terhadap apa yang kalian
cita-citakan dalam urusan dunia kalian. Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin
menjadi seorang ‘alim yang ‘Amil (Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar
Kitab Rabb, Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku
mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan ridla Allah dan mendapatkan
surga-Nya.”
Kemudian
waktu pun berjalan begitu cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin
az-Zubair dibai’at menjadi Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah
(Khalifah ke dua dari khilafah Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan
Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka’bah
tidak jauh dari tempat dimana dia pernah bercita-cita tentang hal itu.
Dan
ternyata Mus’ab bin Az-Zubair pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal
saudaranya, ‘Abdullah namun dia juga dibunuh di dalam mempertahankan
kekuasaannya tersebut.
Demikian
pula, Abdul Malik bin Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat,
dan di tangannya kaum Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap ‘Abdullah bin
az-Zubair dan saudaranya, Mus’ab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia
menjadi penguasa terbesar di dunia pada zamannya.
Lalu
bagaimana dengan ‘Urwah bin Az-Zubair? Mari kita mulai kisahnya dari pertama.
‘Urwah
bin az-Zubair dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar
al-Faruq, di dalam keluarga paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari
sekian banyak keluarga-keluarga kaum muslimin.
Ayahnya
adalah az-Zubair bin al-’Awwam, sahabat dekat dan pendukung Rasulullah SAW,
orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam dan salah satu dari sepuluh
orang yang dijanjikan masuk surga.
Ibunya
bernama Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk “Dzatun Nithaqain”
(Pemilik dua ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi
dua pada saat hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah
SAW dan yang satu lagi dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya).
Kakeknya
pancar (dari pihak) ibunya tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah
Rasulullah SAW dan sahabatnya ketika berada di dalam goa (Tsur). Neneknya
pancar (dari pihak) ayahnya bernama Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi
Rasulullah SAW sedangkan bibinya adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. Pada saat jenazah
‘Aisyah dikubur, ‘Urwah sendiri yang turun ke kuburnya dan meratakan liang
lahadnya dengan kedua tangannya.
Apakah
anda mengira bahwa setelah kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas
kemuliaan ini, ada kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?
Untuk
merealisasikan cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat
di sisi Ka’bah itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri
untuknya serta menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat
Rasulullah SAW yang masih hidup.
Dia
rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti
pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali
bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari,
Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu’man
bin Basyir. Dia banyak sekali mentransfer riwayat dari bibinya, ‘Aisyah Ummul
Mukminin sehingga dia menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ`
as-Sab’ah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama
mereka.
Para
pejabat yang shaleh meminta bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang
dilimpahkan Allah kepada mereka terhadap urusan umat dan negara.
Di
antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah
sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang
datang kepadanya untuk menyampaikan salam.
Ketika
selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang
diketuai oleh ‘Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia
menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka.
Kemudian dia memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan
yang pantas bagi-Nya, lalu berkata,
“Sesungguhnya
aku memanggil kalian semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua diganjar
pahala karenanya dan menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas
kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau
pendapat orang yang hadir dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat
seseorang menyakit orang lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh
pegawaiku, maka demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku.”
Maka
‘Urwah bin az-Zubair mendo’akan kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah
agar menganugerahinya ketepatan (dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan
petunjuk.
‘Urwah
bin az-Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala
hari demikian teriknya dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit,
selalu membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala.
Selain
itu, dia selalu menyertai Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan tekun membacanya.
Setiap harinya, dia membaca seperempat al-Qur’an dengan melihat ke Mushafnya.
Kemudian
dia membacanya di dalam shalat malam hari dengan hafalan.
Dia
tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga
wafatnya, kecuali satu kali disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai
apa musibah itu, akan dihadirkan kepada pembaca nanti.
Sungguh
‘Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati, kesejukan mata dan surga dunia
di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya,
melengkapi syarat rukunnya dengan sempurna dan berlama-lama di dalamnya.
Diriwayatkan
tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan
ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya
dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai
keperluan kepada Tuhanmu ‘Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon
kepada Allah di dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam.”
‘Urwah
bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pema’af dan pemurah. Di antara
contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di
seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya
tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya
terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang
waktu panen, buah-buahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan
kembali pagar kebunnya tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk
memasukinya.
Maka
mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan
membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya
ini, dia mengulang-ulang firman Allah, “Dan mengapa kamu tidak mengucapkan
tatkala kamu memasuki kebunmu ” MASYA ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH” (Sungguh atas
kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah)” (Q.,s.al-Kahfi:39)
Dan
pada suatu tahun dari kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam
dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai
puncaknya), Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menguji ‘Urwah bin az-Zubair
dengan ujian yang berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan
menghadapinya kecuali orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan.
Khalifah
kaum muslimin mengundang ‘Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di
Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa serta putra
tertuanya.
Dan
ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan
memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak
lain, tatkala putra ‘Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main
dengan kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya
dengan keras hingga dia meninggal seketika.
Belum
lama sang ayah yang bersedih menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena
tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya
membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar.
Karena
itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan
meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter
sepakat bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis
‘Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya.
Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerima kenyataan itu.
Ketika
dokter bedah datang untuk memotong betis ‘Urwah dan membawa peralatannya untuk
membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada ‘Urwah,
“Menurutku
anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit
ketika kaki anda dipotong.”
Maka
Urwah berkata,
“O..tidak,
itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap
kesembuhan yang aku harapkan.”
Maka
dokter itu berkata lagi,
“Kalau
begitu aku akan membius anda.”
Urwah
berkata,
“Aku
tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku
tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal
ini.”
Ketika
dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada
‘Urwah, maka ‘Urwah pun berkata,
“Untuk
apa mereka datang?.”
Ada
yang menjawab,
“Mereka
didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat
sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.”
Lalu
‘Urwah berkata,
“Suruh
mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup
dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.”
Kemudian
dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai
kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya,
sementara ‘Urwah membaca, “Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar.”
Dokter
terus menggergaji, sedangkan ‘Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga
akhirnya kaki itu buntung.
Kemudian
dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke
dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah,
‘Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca
Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan
al-Qur’an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika
siuman, ‘Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan
menimang-nimangnya seraya berkata,
“Sungguh,
Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju
masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan
kepada hal yang haram.”
Kemudian
dia mengucapkan bait-bait sya’ir karya Ma’n bin Aus,
Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku
Al-Walid
bin Abdul Malik benar-benar merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu
agungnya. Dia kehilangan putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya
pula, maka al-Walid tidak bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk
bersabar terhadap musibah yang dialaminya.
Kebetulan
ketika itu, ada sekelompok orang dari Bani ‘Abs singgah di kediaman Khalifah,
di antara mereka ada seorang buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal
sebab kebutaannya, lalu orang itu mejawab,
“Wahai
Amirul mukminin, di dalam komunitas Bani ‘Abs tidak ada orang yang harta,
keluarga dan anaknya lebih banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku
singgah di pedalaman suatu lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku,
lalu terjadi banjir besar yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu
menghanyutkan semua yang aku miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa
hanyalah seekor onta dan bayi yang baru lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu
adalah onta yang binal sehingga lepas. Akibatnya, aku meninggalkan sang bayi
tidur di atas tanah untuk mengejar onta tersebut. Belum begitu jauh aku
meninggalkan tempat ku hingga tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut.
Aku menoleh namun ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang
menyantapnya. Aku segera menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa
menyelamatkannya, karena srigala telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika
aku berada di dekatnya, ia menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai
wajahku, sehingga keningku robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan
diriku di dalam satu malam telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta
dan mata.”
Maka
al-Walid berkata kepada pengawalnya,
“Ajaklah
orang ini menemui tamu kita ‘Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan
ceritanya supaya ‘Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang
mengalami cobaan yang lebih berat darinya.”
Ketika
‘Urwah diangkut ke Madinah dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului
mereka dengan ucapan,
“Jangan
kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah ‘Azza wa Jalla
telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka
dan masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia
memberiku empat anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan
menyisakan tiga untukku, maka segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku
empat buah yang memiliki ujung (kedua tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia
mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi untukku. Dan demi Allah, Jika
pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah menyisakan banyak untukku.
Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah mengaruniaiku kesehatan
berkali-kali.”
Ketika
penduduk Madinah mengetahui kedatangan imam dan orang ‘alim mereka, ‘Urwah bin
az-Zubair, mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan
menjenguknya. Di antara untaian kata ta’ziah yang paling berkesan adalah
perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah kepadanya,
“Bergembiralah
wahai Abu Abdillah! salah satu anggota badan dan anakmu telah mendahuluimu
menuju surga dan yang keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya itu, insya
Allah Ta’ala. Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang
sangat kami butuhkan dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda.
Mudah-mudahan Allah menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah
Dzat Yang Maha menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan
amalmu.”
‘Urwah
bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru
kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap
pendidikan anak-anaknya, khususnya, dan anak-anak kaum muslimin lainnya,
umumnya. Dia tidak pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya
untuk memberikan penyuluhan dan nasehat kepada mereka.
Di
antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika
berkata kepada mereka,
“Wahai
anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya.
Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan
saja berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar.”
Penuturan
lainnya,
“Aduh
betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada
orang tua yang bodoh?.”
Dia
juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan
untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu, dalam ucapannya,
“Wahai
anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan
hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan
kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena Allah Ta’ala adalah Dzat Yang
Paling Mulia, dan Paling Dermawan serta Yang Paling Berhak untuk dipilihkan
untuk-Nya.”
Dia
juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal
manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari
mereka itu,
“Wahai
anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka
harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat,
karena kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang
berbuat keburukan yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang
lain, dia adalah orang baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara.
Dan ketahuilah bahwa kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya
(jenis-jenisnya yang lain), demikian pula dengan keburukan.”
Dia
juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik
dan bermuka ramah. Dia berkata,
“Wahai
anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, ‘Hendaklah kamu berkata-kata baik
dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta
mereka kepada orang yang selalu memberikan mereka hadiah.”
Bilamana
dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan
duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan
kesahajaan kehidupan dan kepapaan.
Di
antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan Muhammad bin al-Munkadir
(seorang tabi’i dari penduduk Madinah, wafat pada tahun 130 H),
“Saat
‘Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia berkata, ‘Wahai Abu
Abdullah.’
Lalu
aku menjawab, “Labbaik.”
Kemudian
dia berkata,
“Saat
aku menemui Ummul mukminin ‘Aisyah RA, dia berkata, ‘Wahai anakku.’
Lalu
aku menjawab, ‘Labbaik.’
Beliau
berkata lagi, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat
puluh malam tidak menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera
ataupun yang lainnya.’
Lalu
aku berkata, ‘Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?’
Beliau
menjawab, ‘Dengan dua benda hitam (Aswadân); kurma dan air.’
Selanjutnya
‘Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan
kebaikan, kebajikan dan ketakwaan.
Ketika
ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya ngotot memintanyanya agar
berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap
kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam
bejana emas dan di tangan bidadari.
CATATAN :
Sebagai
bahan bacaan, silahkan merujuk ke:
- ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, 1:406; 2:382, 387; 3:100; 4:167; 5:334; 8:102.
- Hilyatu al-Auliya` karya Abu Nuaim, 2/176.
- Shifat ash-Shafwah, karya Ibnu al-Jauzi, 2:87.
- Wafayat al-A’yan, karya Ibnu Khalakan, 3: 255.
- Ansabu al-Asyraf, karya al-Baladziri
- Jamharatu Ansabi al-’Arab, karya Ibnu Hazm
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/%E2%80%98urwah-bin-az-zubair.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar