Salah seorang di antara sahabat Rasulullah SAW yang utama ialah Abu
Darda. Ia dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tapi hidupnya sederhana.
Ia bahkan menjalani hidup sebagai sufi yang wara – menjauhi kehidupan
duniawi, lebih mementingkan ibadah. Ia salah seorang sahabat yang
kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi sahabat Nabi yang lain.
Tak jelas, kapan Abu Darda, salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu masuk Islam. Karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu.
Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT.
Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Tak kurang, sejarawan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya.
Dalam bukunya, para sahabat yang akrab dengan kehidupan Rasul, ia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman. Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tara.”
Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akherat.
Setelah meninggalkan perniagaan, belakangan ia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah.
“Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derajat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada uang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama.
Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. Sebenarnya harta yang kamu miliki sekedar yang kamu telah manfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang membutuhkannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka percayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allah SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.”
Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.”
(http://yudi-supriyanto.blogspot.com/2011/02/abu-darda-saudagar-kaya-raya-yang.html)
Pada saat balatentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan filsuf yang mengagumkan. Dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.
Ia senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya, "Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?"
Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda'?"
Abu Darda' menjawab, "Dzikrullah!"
Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi sabilillah.
Abu Darda' bukanlah tipe orang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.
Abu Darda' adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah sosok yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh.
Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Sang ibu menjawab, "Tafakur dan mengambil i'tibar (pelajaran)."
Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
"Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari dzikir kepada Allah," ujarnya.
Abu Darda' sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi bantahan terhadap, "Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." (QS Al-Humazah: 2-3).
Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan."
Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."
Orang-orang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?"
"Memiliki harta benda di setiap lembah!" jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata, "Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya."
Bagi Abu Darda', harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. "Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!" ujarnya.
Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.
Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan. "Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana."
(http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/12/lmnrgh-kisah-sahabat-nabi-abu-darda-ahli-hikmah-yang-budiman)
Qais menceritakan bahwa ketika Abu Darda' dan Salman sedang makan dalam piring besar tiba-tiba makanan di atas piring itu bertasbih (kejadian ini disebutkan dalam kitab Hujjatullah 'ala al Alamin. Dalam kitab Thabagat al-Munawi juga disebutkan bahwa di antara karamah Abu al-Darda' adalah ketika ia sedang makan dalam mangkok ceper besar bersama Salman, makanan itu bertasbih. (Riwayat Al-Baihagi dan Abu Na'im)
Pada suatu hari, Abu Darda' menyalakan api di bawah tungku, di sampingnya ada Salman, terdengarlah suara tasbih dari dalam tungku itu, seperti suara anak kecil. Kemudian tungku itu dibalik dan dikembalikan ke posisi semula, tetapi tidak sedikit pun makanan yang tumpah. Salman merasa heran, lalu berkata, "Lihatlah Abu Darda'! Tidak ada kejadian yang menyamainya." Abu Darda' menjawab, "Seandainya engkau diam, maka engkau akan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang agung dan menakjubkan, yakni bertasbihnya mangkuk besar itu." (Riwayat Al-Qusyairi)
(http://kawansejati.ee.itb.ac.id/abu-darda-r-a)
Tak jelas, kapan Abu Darda, salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu masuk Islam. Karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu.
Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT.
Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Tak kurang, sejarawan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya.
Dalam bukunya, para sahabat yang akrab dengan kehidupan Rasul, ia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman. Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tara.”
Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akherat.
Setelah meninggalkan perniagaan, belakangan ia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah.
“Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derajat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada uang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama.
Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. Sebenarnya harta yang kamu miliki sekedar yang kamu telah manfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang membutuhkannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka percayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allah SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.”
Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.”
(http://yudi-supriyanto.blogspot.com/2011/02/abu-darda-saudagar-kaya-raya-yang.html)
Pada saat balatentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan filsuf yang mengagumkan. Dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.
Ia senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya, "Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?"
Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda'?"
Abu Darda' menjawab, "Dzikrullah!"
Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi sabilillah.
Abu Darda' bukanlah tipe orang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.
Abu Darda' adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah sosok yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh.
Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Sang ibu menjawab, "Tafakur dan mengambil i'tibar (pelajaran)."
Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
"Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari dzikir kepada Allah," ujarnya.
Abu Darda' sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi bantahan terhadap, "Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." (QS Al-Humazah: 2-3).
Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan."
Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."
Orang-orang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?"
"Memiliki harta benda di setiap lembah!" jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata, "Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya."
Bagi Abu Darda', harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. "Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!" ujarnya.
Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.
Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan. "Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana."
(http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/12/lmnrgh-kisah-sahabat-nabi-abu-darda-ahli-hikmah-yang-budiman)
Qais menceritakan bahwa ketika Abu Darda' dan Salman sedang makan dalam piring besar tiba-tiba makanan di atas piring itu bertasbih (kejadian ini disebutkan dalam kitab Hujjatullah 'ala al Alamin. Dalam kitab Thabagat al-Munawi juga disebutkan bahwa di antara karamah Abu al-Darda' adalah ketika ia sedang makan dalam mangkok ceper besar bersama Salman, makanan itu bertasbih. (Riwayat Al-Baihagi dan Abu Na'im)
Pada suatu hari, Abu Darda' menyalakan api di bawah tungku, di sampingnya ada Salman, terdengarlah suara tasbih dari dalam tungku itu, seperti suara anak kecil. Kemudian tungku itu dibalik dan dikembalikan ke posisi semula, tetapi tidak sedikit pun makanan yang tumpah. Salman merasa heran, lalu berkata, "Lihatlah Abu Darda'! Tidak ada kejadian yang menyamainya." Abu Darda' menjawab, "Seandainya engkau diam, maka engkau akan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang agung dan menakjubkan, yakni bertasbihnya mangkuk besar itu." (Riwayat Al-Qusyairi)
(http://kawansejati.ee.itb.ac.id/abu-darda-r-a)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar